Senin, 27 April 2020

Teks Genre Makro Membenahi Sistem Transportasi Jabodetabek

Genre merupakan organisasi atau sistem yang memformulasikan bentuk-bentuk bahasa untuk mengemban tugas atau fungsi sosial. Genre sendiri terbagi menjadi dua jenis: genre makro dan genre mikro. Peristiwa komunikasi seperti wawancara, berita, artikel jurnal, surat pembaca, surat lamaran kerja, percakapan telepon, percakapan dokter dengan pasien dapat dikatakan sebagai genre wawancara, genre berita, genre artikel jurnal, genre surat pembaca, genre surat lamaran kerja, genre percakapan telepon, genre percakapan dokter dengan pasien. Nama-nama genre tersebut dikenal dengan genre makro.

Sementara itu, penceritaan, prosedur, deskripsi, laporan, eksplanasi, eskposisi, diskusi, dan eksplorasi disebut genre mikro. Teks genre mikro tersebut merupakan bagian dari teks genre makro. Genre sebagai proses sosial yang berorientasi kepada tujuan yang dicapai secara bertahap digunakan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Beberapa teks genre mikro yang telah dipelajari pada kelas sebelumnya antara lain adalah.

A. Teks Cerita Ulang (Kleas XI)
Cerita ulang adalah teks yang menceritakan suatu peristiwa, kegiatan, atau kejadian yang telah dilakukan atau diamati. Struktur cerita ulang terdiri dari 3 bagian, yaitu:
  1. Orientasi berupa informasi mengenai apa, siapa, di mana, kapan dan mengapa.
  2. Isi teks yaitu berupa rentetan peristiwa atau kejadian.
  3. Reorientasi adalah bagian akhir teks yaitu berupa kesimpulan atas kejadian-kejadian yang terdapat dalam cerita.

B. Teks Laporan Hasil Observasi (Kelas X)
Teks Laporan Observasi adalah teks yang menghadirkan informasi tentang sesuatu seperti alam, hewan, tumbuhan, hasil karya manusia, dan fenomena sosial dengan apa adanya. Informasi yang dihadirkan dalam teks laporan adalah hasil dari observasi dan analisis secara sistematis. Tujuan komunikatif dari teks laporan adalah menyampaikan informasi tentang sesuatu, apa adanya, sebagai hasil pengamatan sistematis atau analisis. Struktur teks Laporan Hasil Observasi adalah sebagai berikut.
  1. Pernyataan umum atau klasifikasi
  2. Anggota/aspek yang dilaporkan

C. Teks Eksposisi (Kelas X)
Teks eksposisi adalah sebuah teks yang dapat menceritakan pendapat pribadi terhadap suatu permasalahan seperti sebuah anjuran di dalamnya terdapat informasi yang bertujuan untuk memengaruhi pembaca.. Tujuan teks eksposisi adalah untuk memaparkan atau menjelaskan sesuatu agar pengetahuan pembaca bertambah. Orang menggunakan teks eksposisi untuk mengusulkan sesuatu kepada pihak lain. Struktur teks eksposisi terdiri dari.
  1. Pernyataan pendapat (tesis)
  2. Argumentasi
  3. Penegasan ulang pendapat
 Genre merupakan organisasi atau sistem yang memformulasikan bentuk Teks Genre Makro Membenahi Sistem Transportasi Jabodetabek
Pada teks berjudul “Membenahi Sistem Transportasi Jabodetabek” dapat dibedah strukturnya berdasarkan teks yang pernah dipelajari di kelas ini dan kelas-kelas sebelumnya. Berikut ini struktur teks Membenahi Sistem Transportasi Jabodetabek.
TeksStruktur Teks
Membenahi Sistem Transportasi JabodetabekJudul
Cerita UlangLaporanEksposisi
Minggu ini saya membaca tiga tulisan, yaitu publikasi Bank Dunia yang baru diluncurkan dua pekan lalu berjudul “Planning, Connecting Financing Cities-Now-Priorities for City Leaders” (PCFC), buku Behavioral Economics and Policy Design: Examples from Singapore (BEPD), dan laporan final tentang Jabodetabek Urban Transportation Policy Integration (JUTPI) Project. Laporan terakhir berisi revisi dari Study on Integrated Transportation Master Plan for Jabodetabek, yang dibuat oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) untuk Kementerian Koordinator Perekonomian dan Bappenas.OrientasiPernyataan
umum/
klasifikasi
Pernyataan pendapat (tesis)
Secara ringkas, ketiga laporan tebal itu berisi: pertama, sistem transportasi di Jabodetabek sudah jauh tertinggal, sementara masalah dan tantangannya semakin kompleks untuk ditangani. Survei pada 2010 mencatat total penumpang perjalanan sudah mencapai kuranglebih 73 juta, yang terdiri atas 58 juta motorized person trips dan 15 juta non–motorized modes. Angka itu diperkirakan mencapai 81 juta pada 2020. Penanganan yang harus dilakukan tidak hanya pada pengembangan sistem transportasi, tapi juga terkait dengan master plan perkotaan (RT/RW) di Jabodetabek.IsiAnggota/
aspek
yang dilaporkan
Argumentasi
Kedua, penanganan transportasi harus terintegrasi dan komprehensif. Kita tidak punya kemewahan lagi untuk memilih. Semua harus dibangun secara bersamaan. Jabodetabek semakin terintegrasi sehingga penanganan sistem transportasi tidak bisa hanya bertumpu pada pemerintah DKI Jakarta tapi juga melibatkan pemerintah daerah di sekitarnya.
Ketiga, ruang untuk policy mistake sangat terbatas, sehingga kebijakan publik yang menjawab persoalan masalah transportasi harus terdesain dengan baik dan dapat menjawab persoalan dengan tepat. Pengalaman Singapura seperti yang digambarkan dalam bab III buku BEPD, dapat kita jadikan pelajaran penting.
Dengan kesimpulan itu, ribut-ribut tentang perlu-tidaknya membangun enam ruas jalan tol di dalam kota, mass rapid transit (MRT), dan sistem monorel menjadi tidak relevan. Yang lebih relevan adalah bagaimana segera mewujudkan proyek-proyek tersebut dan melengkapi dengan sejumlah daftar panjang proyek dan program kelembagaan yang harus segera dibangun berdasarkan master plan JUTPI. Tidak perlu studi tambahan lagi karena puluhan studi serupa telah dilakukan dan kesimpulannya tidak banyak berbeda.
Kompleksnya permasalahan transportasi di Jakarta tidak lepas dari sistem insentif yang salah-kebijakan yang berlaku sekarang ini-yang telah menimbulkan respons yang tidak efisien, baik dari sisi permintaan maupun penawaran. Dari sisi permintaan, misalnya, harga bahan bakar minyak dengan subsidi yang sangat besar telah menimbulkan bias kepada sistem angkutan pribadi-baik kendaraan roda dua maupun roda empat. Akibatnya, jumlah kendaraan roda empat meningkat dua kali dari hanya 1 juta pada 2000 menjadi 2 juta pada 2010.
Peningkatan lebih dramatis terjadi pada sepeda motor, yang meningkat hampir lima kali lipat dalam periode yang sama, dari 1,6 juta (2000) menjadi 7,5 juta (2010). BBM bersubsidi menyebabkan ongkos perjalanan kendaraan pribadi menjadi terdistorsi, yang kemudian menimbulkan perjalanan yang tidak efisien. Contohnya, mahasiswa saya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia menggunakan mobil sendiri walaupun kakaknya kuliah di Fakultas Teknik UI.
Distorsi juga terlihat dari proporsi penggunaan kereta api oleh penduduk Jakarta. Survei JUTPI menunjukkan hanya 0,3 persen penumpang Jakarta yang menggunakan kereta api. Bandingkan dengan penumpang dari Depok-Bogor yang 13 persen, Tangerang 5 persen, Bekasi 3 persen. Sekitar 60 persen penduduk Jakarta menggunakan sepeda motor, sisanya menggunakan kendaraan roda empat 24 persen dan bus 22 persen.
Survei juga menunjukkan penurunan penggunaan kendaraan bus di antara komuter di Jabodetabek. Pada 2002, sebanyak 38 persen komuter menggunakan bus, pada 2010 turun menjadi hanya 13 persen. Penurunan ini dikompensasikan dengan kenaikan angka penggunaan sepeda motor sebesar 21 persen pada 2002 menjadi 48,7 persen pada 2010.
Penurunan ini, selain disebabkan oleh distorsi harga relatif antarmoda transportasi yang diceritakan di atas, lantaran tarif kendaraan umum terlalu rendah sehingga tidak memungkinkan pemilik kendaraan  umum memelihara dan memodernisasi kendaraan; pasokan efektif kendaraan umum turun karena bus mogok atau suku cadang dikanibal untuk digunakan di kendaraan lain yang masih bisa jalan; serta kualitas pelayanan memburuk, penumpang mensubtitusi moda transportasi. Implikasi lanjutannya lebih buruk lagi. Jumlah penumpang per kendaraan pun menurun dan membuat bisnis angkutan kota menjadi semakin tidak menarik.
Perubahan sistem intensif menjadi syarat (necessary condition) dalam menyelesaikan masalah transportasi. Kita harus membuat biaya perjalanan dengan kendaraan pribadi, termasuk sepeda motor, menjadi lebih mahal dengan mencabut subsidi BBM. Hal ini semakin dibutuhkan mengingat kita perlu menaikkan tarif kendaraan umum agar pemilik angkutan umum dapat memelihara kendaraannya sehingga layak ditumpangi.
Pemetaan dan proyeksi komuter di Jabodetabek menunjukkan bahwa modernisasi dan pengembangan kendaraan umum harus menjadi prioritas. Master Plan Sistem Transportasi Jakarta 2030 menunjukkan perkiraan respons sisi penawaran yang optimistis pun belum mampu mengatasi tambahan permintaan. Perkiraan optimistis ini mengasumsikan akan ada lima MRT line, termasuk jalur Lebak Bulus-Kampung Bandan, plus beroperasinya secara efektif kereta lingkar Jakarta dan monorel.
Dengan tambahan busway dan modernisasi kendaraan umum, diharapkan porsi penumpang yang dapat ditampung dengan bus dan kereta terhadap total penduduk Jabodetabek bisa ditingkatkan menjadi dua kali dari 17,2 persen (2010) menjadi 36,2 persen pada 2020 dan 2030. Kebutuhan yang mendesak ini membuat pelaksanaan pembangunan MRT tahap pertama tak boleh ditunda lagi. Semakin lama kita menunda, oportunity costs dari penundaan ini bisa melebihi dugaan perbedaan ongkos pembangunan MRT yang dianggap mahal. Di samping menambah jalur rel kereta api dan busway, perlu penataan sistem trayek serta perubahan sistem kelembagaan dalam angkutan bus. Perubahan sistem kelembagaan ini juga tidak mudah dan pasti memakan banyak energi.Penegasan ulang pendapat
Dengan tambahan busway dan modernisasi kendaraan umum, diharapkan porsi penumpang yang dapat ditampung dengan bus dan kereta terhadap total penduduk Jabodetabek bisa ditingkatkan menjadi dua kali dari 17,2 persen (2010) menjadi 36,2 persen pada 2020 dan 2030.
Kebutuhan yang mendesak ini membuat pelaksanaan pembangunan MRT tahap pertama tak boleh ditunda lagi. Semakin lama kita menunda, oportunity costs dari penundaan ini bisa melebihi dugaan perbedaan ongkos pembangunan MRT yang dianggap mahal. Di samping menambah jalur rel kereta api dan busway, perlu penataan sistem trayek serta perubahan sistem kelembagaan dalam angkutan bus. Perubahan sistem kelembagaan ini juga tidak mudah dan pasti memakan banyak energi.
Jika sistem transportasi umum hanya dapat mencakup 36 persen penumpang, ke mana sisanya? Sisanya tetap mengandalkan kendaraan pribadi, apakah roda empat atau roda dua. Hal ini berarti road ratio di Jabodetabek harus bisa ditingkatkan. Di Jakarta, misalnya, road ratio harus dapat ditingkatkan dari 8,1 persen (2010) menjadi 8,7 persen (2020) dan 9,1 persen (2030). Hal ini berarti harus ada tambahan 780 kilometer jalan di Jakarta hingga 2020 dan 480 kilometer jalan pada 2030.
Kesulitan pengadaan tanah menyebabkan pilihan yang paling mungkin adalah membangun jalan layang. Pertanyaannya: yang dibangun itu jalan tol atau non-tol? Terdapat perbedaan besar antara membangun jalan tol dan non-tol, terutama dari sumber pembiayaan dan perilaku masyarakat dalam mendorong tambahan lalu lintas. Sumber pembiayaan untuk membangun jalan layang nontol hanya terbatas pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Membangun jalan non-tol, seperti jalan non-tol Antasari, membuat sebagian APBD harus disisihkan. Artinya, porsi APBD untuk pengembangan angkutan umum akan berkurang. Hal ini jelas tidak konsisten dengan master plan.
Sebaliknya, pembiayaan jalan tol akan berasal dari swasta dan tidak mengganggu APBD. Dengan mensyaratkan penggunaan jalan tol dalam kota bagi kendaraan umum berarti sebagian kebutuhan tambahan jalur busway, yang harus meningkat dua kali pada 2020, dapat dipenuhi dengan menumpang jalan tol. Artinya, kebutuhan APBD untuk pengembangan sistem angkutan umum pun berkurang. Sekali mendayung, dua pulau terlampaui.
Pemungutan tol untuk jalan layang juga akan merasionalkan lalu lintas perjalanan. Ilmu ekonomi tingkah laku (behavioral economics) yang digunakan pemerintah Singapura dalam memilih sistem electronic road pricing (ERP) ketimbang opsi lain menunjukkan bahwa respons pengendara akan berbeda secara signifikan jika dihadapkan pada dua pilihan: berbayar atau gratis. Mengutip studi yang dilakukan Kristina Shampinier dkk (2007) dalam jurnal Marketing Science Volume 26 Nomor 6, manyarakat akan memilih yang gratis, walaupun dihadapkan pada pilihan lain yang menarik. Implikasinya, membangun jalan non-tol akan mendorong kenaikan lalu lintas jauh lebih cepat dibanding jalan tol.
Ilmu ekonomi tingkah laku memberi pelajaran penting bagi kebijakan publik lain. Sistem genap-ganjil akan berakhir seperti sistem 3 in 1, yang diakali masyarakat dengan berbagai cara, termasuk mendorong peningkatan pemilikan roda empat. Sebaliknya, sistem ERP akan mempengaruhi cash flow keluarga sehari-hari dan akan mendorong rasionalisasi penggunaan kendaraan umum.
Pembenahan sistem transportasi Jabodetabek meliputi pula pricing policy yang tepat. Penetapan tarif MRT yang terlalu murah bisa jadi tidak akan mendorong pengendara roda empat untuk berpindah ke kendaraan umum. Mereka tidak mau berdesakan dengan penumpang lain. Analisis perilaku konsumen secara tepat perlu menjadi pertimbangan. Niat baik seringkali menciptakan hasil buruk jika implementasi tidak tepat.Reorientasi
Sumber:Tempo, 10 Februari 2013 halaman 98-99Sumber