Senin, 27 April 2020

Sejarah Kerajaan Kutai

Agama Hindu dan Budha dianut oleh penduduk di berbagai wilayah nusantara pada waktu yang hampir bersamaan, sekitar abad ke empat, bersamaan dengan mulai berkembangnya hubungan dagang antara Indonesia dengan India dan Cina. Sebelum pengaruh Hindu dan Budha masuk ke Indonesia, diperkirakan penduduk Indonesia menganut kepercayaan dinamisme dan animisme. Prasasti yang ditemukan di Kutai dan Tarumanegara yang menyebutkan sapi sebagai hewan persembahan menunjukkan bahwa agama Hindu berkembang di daerah itu. Juga adanya penyebutan Dewa Trimurti yaitu, Brahma, Wisnu, dan Siwa.

Munculnya kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia merupakan salah satu bentuk daripengaruh Hindu-Buddha. Kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddha yang berkembang di Indonesia,antara lain: Kerajaan Kutai, Kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Kalingga, Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Mataram Kuno, Kerajaan Kediri, Kerajaan Singhasari, Kerajaan Majapahit, Kerajaan Buleleng dan Kerajaan Dinasti Warmadewa di Bali, Kerajaan Tulang Bawang, dan Kerajaan Kota Kapur.

Kerajaan Kutai
Kerajaan Kutai dipandang sebagai kerajaan Hindu-Buddha yang pertama di Indonesia. Kerajaan Kutai diperkirakan terletak di daerah Muarakaman di tepi Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Sungai Mahakam merupakan sungai yang cukup besar dan memiliki beberapa anak sungai. Daerah di sekitar tempat pertemuan antara Sungai Mahakam dengan anak sungainya diperkirakan merupakan letak Muarakaman dahulu. Sungai Mahakam dapat dilayari dari pantai sampai masuk ke Muarakaman, sehingga baik untuk perdagangan. Inilah posisi yang sangat menguntungkan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat.

Sumber Sejarah
Sumber sejarah Kutai yang utama adalah prasasti yang disebut yupa, yaitu berupa batu bertulis. Yupa juga sebagai tugu peringatan dari upacara kurban. Yupa ini dikeluarkan pada masa pemerintahan Raja Mulawarman. Prasasti Yupa ditulis dengan huruf pallawa dan bahasa sanskerta. Dengan melihat bentuk hurufnya, para ahli berpendapat bahwa yupa dibuat sekitar abad ke-5 M.
 Agama Hindu dan Budha dianut oleh penduduk di berbagai wilayah nusantara pada waktu yang  Sejarah Kerajaan Kutai
Dalam prasasti tersebut disebutkan nama kakek Mulawarman yang bernama Kudungga. Kudungga berarti penguasa lokal yang setelah terkena pengaruh Hindu-Buddha daerahnya berubah menjadi kerajaan. Walaupun sudah mendapat pengaruh Hindu-Buddha namanya tetap Kudungga berbeda dengan puteranya yang bernama Aswawarman dan cucunya yang bernama Mulawarman. Oleh karena itu yang terkenal sebagai wamsakerta adalah Aswawarman.

Masuknya Hindu ke Kutai
Bila benar Kudungga adalah penduduk pribumi, bagaimana agama Hindu dapat masuk di Kerajaan Kutai? Hubungkanlah dengan teori tentang proses masuk dan berkembangnya agama dan kebudayaan Hindu di Nusantara. 

Pada Yupa diketemukan sebuah nama yaitu Kundungga yang tidak dikenal dalam bahasa India. Nama tersebut merupakan nama asli daerah tersebut. Namun masih dalam yupa yang sama dijelaskan bahwa Kundungga mempunyai anak yang bernama Aswawarman yang mempunyai putra pula bernama Mulawarman.  Dua nama terakhir merupakan nama yang mengandung unsur India, berbeda dengan nama Kundungga. Baik Kundungga, Aswawarman maupun Mulawarman merupakan raja-raja di Kutai. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaruh Hindu pada keluarga kerajaan itu sudah mulai masuk pada masa Kundungga, meskipun baru menguat pada masa Aswawarman. Bukti kebudayaan Hindu sudah mulai masuk pada masa Kundungga dapat dibuktikan dengan diberikannya nama Hindu kepada anaknya.

Masuknya agama Hindu ke kerajaan Kutai tidak lepas dari para Brahmana yang ingin menyebarkan agama Hindu di Indonesia. Ajaran agama Hindu tersebut tidak semua orang bisa mempelajarinya, hanya golongan-golongan tertentu yang bisa mempelajarinya misalnya Brahmana.

Pada masa pemerintahan kerajaan Kutai, Brahmana diangkat sebagai Parohita (penasihat raja), sekaligus sebagai pemimpin upacara-upacara adat dalam kerajaan. Seperti penobatan atau pengangkatan pengurus kerajaan, upacara pemakaman, dan lain-lain. Karena para Brahmana dipercayai mempunyai kharisma (kesaktian). Kepercayaan ini juga dianut oleh Hinduisme dari India. Ini menimbulkan pengaruh yang sangat besar bagi masyarakat. Jadi kerajaan Kutai secara langsung dipengaruhi oleh agama Hindu. Penyebar Hinduisme adalah para Brahmana. Teori ini dikemukakan oleh Van Leur. Dia menolak teori pedagang. Sebab pedagang tidak ahli dalam Hinduisme. Ilmu yang disebarkan termasuk tinggi dan ilmu tersebut hanya dikuasai oleh Brahmana.

Satu di antara yupa tersebut memberi informasi penting tentang silsilah Raja Mulawarman. Diterangkan bahwa Kudungga mempunyai putra bernama Aswawarman. Raja Aswawarman dikatakan seperti Dewa Ansuman (Dewa Matahari). Aswawarman mempunyai tiga anak, tetapi yang terkenal adalah Mulawarman. Raja Mulawarman dikatakan sebagai raja yang terbesar di Kutai. Ia pemeluk agama Hindu-Siwa yang setia. Tempat sucinya dinamakan Waprakeswara. Ia juga dikenal sebagai raja yang sangat dekat dengan kaum brahmana dan rakyat. Raja Mulawarman sangat dermawan. Ia mengadakan kurban emas dan 20.000 ekor lembu untuk para brahmana. Oleh karena itu, sebagai rasa terima kasih dan peringatan mengenai upacara kurban, para brahmana mendirikan sebuah yupa.

Pada masa pemerintahan Mulawarman, Kutai mengalami zaman keemasan. Kehidupan ekonomi pun mengalami perkembangan. Kutai terletak di tepi sungai, sehingga masyarakatnya melakukan pertanian. Selain itu, mereka banyak yang melakukan perdagangan. Bahkan diperkirakan sudah terjadi hubungan dagang dengan luar. Jalur perdagangan internasional dari India melewati Selat Makassar, terus ke Filipina dan sampai di Cina. Dalam pelayarannya dimungkinkan para pedagang itu singgah terlebih dahulu di Kutai. Dengan demikian, Kutai semakin ramai dan rakyat hidup makmur.

Satu di antara yupa di Kerajaan Kutai berisi keterangan yang artinya:“Sang Mulawarman, raja yang mulia dan terkemuka, telah memberi sedekah 20.000 ekor sapi kepada para brahmana yang seperti api, (bertempat) di dalam tanah yang sangat suci (bernama) Waprakeswara ((tempat pemujaan Dewa Siwa)”

Bila isi yupa itu diartikan secara harfiah,Raja Mulawarman memberikan hadiah sapi sebanyak 20.000 ekor kepada para brahmana, artinya pada abad ke-5 telah ada suatu peternakan yang sangat maju. Kehidupan ekonomi yang dapat disimpulkan dari prasasti tersebut adalah keberadaan sapi yang dipersembahkan oleh Raja Mulawarman kepada Brahmana. Keberadaan sapi menunjukkan adanya usaha peternakan yang dilakukan oleh rakyat Kutai.