Angklung merupakan alat musik asli Indonesia yang terbuat dari bambu. Kata angklung konon berasal dari Bahasa Sunda (angkleung-angkleungan), yang menggambarkan gerak tubuh para pemain Angklung yang berayun-ayun seiring irama yang dibunyikan. Alat musik ini dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar. Angklung tumbuh dan berkembang pada masyarakat suku Sunda (Jawa Barat) dan digunakan untuk upacara yang berkaitan dengan tanaman padi. Sistem nada angklung pada awalnya berlaraskan pelog, selendro, madenda angklung jenis ini disebut angklung buhun kemudian Pak Daeng Soetigna membuat angklung berlaraskan diatonis.
Nada-nada angklung buhun dideskripsikan menjadi Dogdog lonjor memiliki 3 nada, Badud dan Badeng memiliki 4 nada, dan angklung Buncis memiliki 5 nada. Jenis-jenis angklung tersebut adalah sebagai berikut :
1. Angklung Kanekes
Angklung ini sering dikenal sebagai angklung Badui, digunakan untuk upacara menanam padi, angklung ini bukan hanya sebatas media hiburan tetapi juga memiliki nilai magis tertentu. Meski demikian, angklung masih bisa ditampilkan di luar ritual menanam padi tetapi tetap mempunyai aturan, misalnya hanya boleh ditabuh hingga masa ngubaran pare (mengobati padi), sekitar tiga bulan dari sejak ditanamnya padi. Setelah itu, selama enam bulan berikutnya semua kesenian tidak boleh dimainkan, dan boleh dimainkan lagi pada musim menanam padi berikutnya. Menutup angklung dilaksanakan dengan acara yang disebut musungkeun angklung, yaitu nitipkeun (menitipkan, menyimpan) angklung setelah dipakai.
2. Angklung Gubrag
Angklung ini berasal dari kampung Cipining Kecamatan Cigudeg. Juga digunakan untuk menghormati Dewi Padi. Menurut cerita Kampung Cipining, Bogor, diancam oleh bencana kelaparan akibat tanaman padi di ladang-ladang yang tidak tumbuh dengan baik. Penduduk yang juga meyakini bahwa Dewi Sri (Dewi Padi) bersemayam di angkasa kemudian melakukan berbagai usaha untuk mengundang kembali Dewi Sri untuk turun ke bumi dan memberikan berkahnya bagi kesuburan tanaman padi penduduk. Beberapa usaha dilakukan, di antaranya adalah menyediakan sedekah sesajian, mengadakan acara-acara kesenian seperti pertunjukan seruling, pertunjukan karinding, dan lain-lain.
3. Angklung Dogdog Lonjor
Angklung ini berasal dari masyarakat Banten Selatan di daerah Gunung Halimun. Digunakan pada upacara Seren taun menghormati Dewi padi
karena panen berlimpah. Meski kesenian ini dinamakan dogdog lojor, yaitu nama salah satu instrumen di dalamnya, tetapi di sana juga digunakan angklung karena kaitannya dengan acara ritual padi. Setahun sekali, setelah panen seluruh masyarakat mengadakan acara Serah Taun atau Seren Taun di pusat kampung adat. Pusat kampung adat sebagai tempat kediaman kokolot (sesepuh) tempatnya selalu berpindah-pindah sesuai petunjuk gaib.
4. Angklung Badeng
Angklung badeng berfungsi sebagai hiburan dan media dakwah penyebaran Islam, namun sebelumnya di Garut tepatnya di Kecamatan Malangbong juga dipakai berhubungan dengan ritual padi. Sebagai seni untuk dakwah badeng dipercaya berkembang sejak Islam menyebar di daerah ini sekitar abad ke-16 atau 17. Pada masa itu penduduk Sanding, Arpaen dan Nursaen, belajar agama Islam ke kerajaan Demak. Setelah pulang dari Demak mereka berdakwah menyebarkan agama Islam. Salah satu sarana penyebaran Islam yang digunakannya adalah dengan kesenian badeng.
5. Angklung Buncis
Angklung buncis dipakai sebagai media hiburan namun awalnya juga dipakai pada acara ritual pertanian yang juga berhubungan dengan tanaman padi. Angklung Buncis dibuat pertama kali oleh Pak Bonce pada tahun 1795 di Kampung Cipurut, Desa Baros, Arjasari, Bandung. Angklung Buncis. Pak Bonce membuat tujuh set Angklung Buncis yang kemudian dijual kepada Aki Dartiam. Oleh Aki Dartiam, Angklung-angklung tersebut lalu dikombinasikan dengan dog-dog dan terompet.
Nada-nada angklung buhun dideskripsikan menjadi Dogdog lonjor memiliki 3 nada, Badud dan Badeng memiliki 4 nada, dan angklung Buncis memiliki 5 nada. Jenis-jenis angklung tersebut adalah sebagai berikut :
1. Angklung Kanekes
Angklung ini sering dikenal sebagai angklung Badui, digunakan untuk upacara menanam padi, angklung ini bukan hanya sebatas media hiburan tetapi juga memiliki nilai magis tertentu. Meski demikian, angklung masih bisa ditampilkan di luar ritual menanam padi tetapi tetap mempunyai aturan, misalnya hanya boleh ditabuh hingga masa ngubaran pare (mengobati padi), sekitar tiga bulan dari sejak ditanamnya padi. Setelah itu, selama enam bulan berikutnya semua kesenian tidak boleh dimainkan, dan boleh dimainkan lagi pada musim menanam padi berikutnya. Menutup angklung dilaksanakan dengan acara yang disebut musungkeun angklung, yaitu nitipkeun (menitipkan, menyimpan) angklung setelah dipakai.
2. Angklung Gubrag
Angklung ini berasal dari kampung Cipining Kecamatan Cigudeg. Juga digunakan untuk menghormati Dewi Padi. Menurut cerita Kampung Cipining, Bogor, diancam oleh bencana kelaparan akibat tanaman padi di ladang-ladang yang tidak tumbuh dengan baik. Penduduk yang juga meyakini bahwa Dewi Sri (Dewi Padi) bersemayam di angkasa kemudian melakukan berbagai usaha untuk mengundang kembali Dewi Sri untuk turun ke bumi dan memberikan berkahnya bagi kesuburan tanaman padi penduduk. Beberapa usaha dilakukan, di antaranya adalah menyediakan sedekah sesajian, mengadakan acara-acara kesenian seperti pertunjukan seruling, pertunjukan karinding, dan lain-lain.
3. Angklung Dogdog Lonjor
Angklung ini berasal dari masyarakat Banten Selatan di daerah Gunung Halimun. Digunakan pada upacara Seren taun menghormati Dewi padi
Dogdog Lonjor |
4. Angklung Badeng
Angklung badeng berfungsi sebagai hiburan dan media dakwah penyebaran Islam, namun sebelumnya di Garut tepatnya di Kecamatan Malangbong juga dipakai berhubungan dengan ritual padi. Sebagai seni untuk dakwah badeng dipercaya berkembang sejak Islam menyebar di daerah ini sekitar abad ke-16 atau 17. Pada masa itu penduduk Sanding, Arpaen dan Nursaen, belajar agama Islam ke kerajaan Demak. Setelah pulang dari Demak mereka berdakwah menyebarkan agama Islam. Salah satu sarana penyebaran Islam yang digunakannya adalah dengan kesenian badeng.
5. Angklung Buncis
Angklung buncis dipakai sebagai media hiburan namun awalnya juga dipakai pada acara ritual pertanian yang juga berhubungan dengan tanaman padi. Angklung Buncis dibuat pertama kali oleh Pak Bonce pada tahun 1795 di Kampung Cipurut, Desa Baros, Arjasari, Bandung. Angklung Buncis. Pak Bonce membuat tujuh set Angklung Buncis yang kemudian dijual kepada Aki Dartiam. Oleh Aki Dartiam, Angklung-angklung tersebut lalu dikombinasikan dengan dog-dog dan terompet.